Sampai saat
ini, saya pribadi masih nggak nyambung dan sulit memahami beberapa kawan
yang dengan sangat kuat meyakini bahwa madzhab itu sumbu perpecahan umat dengan
banyaknya perbedaan pendapat. Dan yang harus dilakukan adalah kembali ke Al
Quran dan Sunnah. Padahal sama sekali tidak ada satu pun ulama madzhab yang
mengarang hukum, mereka semua adalah prototype manusia
paling waro’, shalih dan takut dalam membuat hukum sendiri setelah
generasi-generasi terbaik Islam (Masa Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Al-Tabi’in). Tidak
mungkin mereka semua mengambil hukum seenak hati dan nafsunya saja, tapi justru
mereka mengambil itu semua dari Al Quran dan Sunnah, tidak yang lainnya. Dan
memang itu yang mereka lakukan.
Sayangnya, yang mengatakan madzhab sebagai sumber
perpecahan itu tidak pernah belajar sejarah madzhab dan imam-imamnya. Mungkin
terlalu naif buat mereka untuk mempelajari perkataan manusia yang ‘tidak
makshum’ nan mulia itu, atau sudah terlanjur gengsi. Seandainya mereka
mempelajarinya dengan dada yang lapang, niscaya mereka cinta kepada sang
imam-imam madzhab.
Justru karena mereka buta madzhab dan perbedaan
pendapat, itulah yang akhirnya membuat mereka menjadi sangat naïf dalam
bersyariah dan tentu rentan perpecahan. Memaksakan orang lain ikut sesuai
pendapatnya, dan mencaci serta menjauhi mereka yang berbeda bahkan tidak segan
melabeli dengan label buruk.
Jadi sejatinya siapa yang menjadi sumbu perpecahan?
Para Imam madzhab dan pengikutnya atau yang memaksakan kehendaknya diamini oleh
yang lain tapi tidak bisa?
Kita sudah banyak contohnya dalam hal bahwa ulama
madzhablah pelopor persatuan dalam perbedaan pendapat mereka. Imam Malik tidak
mau memaksakan pendapatnya yang terangkum dalam kitab Al
Muwaththo’ untuk jadi regulasi hukum Abbasiyah. Karena itu pasti menjadi
masalah di tengah masyarakat yang tidak terbiasa dengan pendapat Malikiyah di
Baghdad.
Imam Ibnu Mas’ud juga tidak mencemooh sahabat Utsman
bin Affan, dan justru menjadi makmum sholatnya. Padahal beliau beranggapan
qashar bagi musafir sedang sayyidina Utsman tidak. Tidak pula kita mendengar sejarahnya ada pengikut Imam
Laits bin Sa’d yang datang ke Madinah untuk menghina pengikut Imam Malik, dan
juga sebaliknya.
Ikut Nabi atau
Ikut Ulama?
Ini yang buruk, beberapa kawan jika mendapati orang
lain beramal sesuai madzhab, tapi menurut pemahamannya yang lemah itu
menyelisih hadits Nabi, ia langsung mengumpat “Ente mau Ikut Hadist Nabi apa
ikut Ulama Madzhab? Siapa yang pantas diikuti?”
Umpatan seperti ini jelas merendahkan derajat seorang
ulama yang punya kapasitas tinggi sebagai orang yang mengerti syariah. Ini
seperti menuduh ikan tidak bisa berenang. Apa mereka kira ulama madzhab itu
tidak mengerti hadist?
Bagaimana bisa seorang Imam madzhab tidak mengerti
hadits? Toh untuk jadi seperti itu (imam madzhab) tidak mungkin kecuali mereka
hapal lebih dari ratusan ribu hadist dengan maqshud-nya pula. Karena
seorang mujtahid, pastilah ia seorang muhaddist (ahli hadist)
Jelas ini penghinaan yang nyata dari seorang yang
bodoh syariah, yang hanya mengaji sabtu-ahad, kepada ulama madzhab yang
kapasitasnya jauh di atas mereka semua; mengerti ayat Quran beserta madlul-nya,
paham hadist beserta manthuq-nya, dan paling mengerti bahasa Arab beserta
kaidah-kaidahnya.
Kita memang wajib mengikuti Nabi, tapi lewat jalur
mana kita memahaminya? Apa mampu otak yang lemah ini memahami segitu banyak
hadist? Sedang bahasa Arab hanya baru bisa, ana-anta akhi-ukhti?
"Ikut Abu Bakr, Umar, Utsman atau Ikut
Nabi?"
Ini yang lebih parah! Dalam beberapa masalah, beberapa
kawan justru mengumpat sahabat ketika terjadi perbedaan pendapat. Ada yang
mengikuti ijtihad Umar dalam suatu masalah (Tarawih 20 rokaat misalnya) yang
itu tidak ada riwayat dari Nabi lalu ia katakan dengan pongah “Nabi tidak
pernah melakukan itu! Mau ikut Umar apa ikut Nabi?”
Dalam masalah adzan Jumat 2 kali yang merupakan
Ijtihad sahabat Utsman bin Affan. Karena tidak puas dengan pendapat ini, ia pun
mengumpat lagi “Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Ustman apa ikut
Nabi?” Seakan-akan bahwa apa yang dilakukan sayyidina Umar dan sayyidina Ustman
itu menyelisih sunnah Nabi saw. Dan bukan seakan-akan, pernyataan
yang kental dengan dengan umpatan itu jelas memberikan arti bahwa sahabat tidak
mengikuti Nabi, berbeda dengan Nabi.
Sahabat
Tidak Mengikuti Nabi?
Bagaimana bisa? Padahal mereka lah orang terdekat
dengan Nabi saw, hidup bersama, selalu menemani, menyaksikan wahyu turun,
mendengarkan hadist langsung, hidup berdampingan dengan Nabi saw. Tentu mereka
paling mengerti maqhashid syariah yang turun dari langit melalui lisan
Nabi saw. Lalu ada anak kemarin sore mengatakan: “Mau ikut Nabi apa ikut
Umar/Utsman?”
Tentu jelas ini bentuk men-diskreditkan kapasitas
seorang sahabat sebagai ‘sahabat’ Nabi saw. Mendiskreditkan sama dengan
menghina dan penghinaan kepada para sahabat jelas dosa besar bahkan bisa
menjurus kekufuran dalam Islam.
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi
Dzat yang jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar
gunung Uhud, maka ia tak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari
apa yg telah diinfakkan para sahabatku.' [HR. Muslim]
Nah,
jadi siapa yang menghina sahabat sekarang?
Mereka mengisi hari-hari mereka dengan teriakan keras
menghujat para penghina sahabat Nabi saw, tapi malah dengan pongah mereka
termasuk kelompok yang mereka sendiri hujat, mereka sendiri menghina sahabat.
Menghujat penghina sahabat tapi malah menanamkan benih kebencian dan
diskreditisasi sahabat dalam hati dengan bangga. Nau’udzu billah.
Abu
Bakr dan Umar Menyelisih Nabi saw?
Kita ingat bagaimana pencapaian sayyidna Abu Bakr yang
memerangi kaum pembangkang zakat yang Nabi saw tidak melakukan itu ketika masih
hidup. Begitu juga wacana beliau tentang pembukuan Al Quran [Tadwiinul Qur’an],
Apa kemudian ada sahabat lain menolak ikut berperang lalu mengumpat seperti
anak-anak sekarang?
“Mau ikut khalifah Abu Bakr yang tidak makshum atau
ikut Nabi?” Sayangnya kita tidak menemukan ada riwayat seperti ini dalam
kitab-kitab ulama syariah dan ulama sejarah. Termasuk juga inisiatif khalifah
yang lain. Lalu dari mana mereka punya umpatan itu? Mencontoh siapa mereka kalau
sahabat saja tidak melakukan?
Kita
tahu bahwa ketika Nabi masih hidup, Nabi menghukumi talak tiga sekaligus dalam
satu majlis atau satu kali perkataan itu tidak dihukumi sebagai talak tiga,
tapi tetap talak satu. Jadi talak itu harus terpisah agar terhitung lebih dari
satu. Tapi ketika sayyidina Umar menjabat khalifah, di tahun ke-3 hijrah beliau
memfatwakan hal yang berbeda dengan Nabi saw, bahwa talak tiga sekaligus itu
terjadi walaupun diucapkan sekali.
Beliau fatwakan seperti itu karena melihat banyak dari
para suami ketika itu yang gegabah dan seenaknya dalam mentalak istrinya dengan
talak tiga, namun tetap mau kembali setelahnya. Akhirnya beliau hukum sebagai
talak tiga sebagai jera bagi para lelaki agar hati-hati. Dan semua sahabat
ketika itu tidak ada yang mengingkari, yang akhirnya fatwa beliau
menjadi ijma’ Sukuti. Dan tidak ada juga sahabat yang mengumpat “Mau
ikut Umar yang tidak makshum, atau ikut Nabi saw?” Sama sekali, tidak ada
riwayat umpatan ‘alay’ seperti ini.
Wallahu
a’lam.
Disarikan
dari http://hp.rumahfiqih.com/y.php?id=236
No comments:
Post a Comment