Monday, August 22, 2016

KISAH SEORANG SALAFI-WAHHABI MENGHINA WALI ALLAH SWT

oleh : Ust. Ahmad Syarifuddin

“Man adza li waliyan faqad adzantuhu bil harbi.” Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka sungguh Aku (Allah) telah memaklumatkan perang kepadanya. (Hadits Qudsi Riwayat Al Bukhari dari Sahabat Abu Hurairah Ra.)

Guru kami, KH. Ihya Ulumuddin pernah menceritakan kisah yang berasal dari penuturan Sang Guru Besar, yakni Prof. Dr. Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani.

Ada seorang tokoh puritan (wahabi-salafy) di Timur Tengah. Karena begitu bencinya pada Imam Abu Hanifah, dia suka bilang, “Abu Hanifah jifah… Abu Hanifah jifah….” (Abu Hanifah adalah bangkai… Abu Hanifah adalah bangkai…). Celaan secara nyata terhadap pendiri madzhab Hanafi itu diucapkannya di berbagai kesempatan dan berulang-ulang. Dia seperti murka dan muak terhadap ulama panutan umat Islam sedunia ini. Entah dari mana kebencian membabi-buta itu bermula. Mungkin dia beranggapan Imam Abu Hanifah meletakkan akal di atas teks dalil normatif agama. Padahal secara hakikat tidaklah begitu. Artinya, celaannya mengada-ada.

Selang berapa waktu kemudian, dari sebuah rumah tercium bau busuk. Semakin lama, bau itu semakin busuk dan menusuk hidung. Rumah itu tampak sepi sejak beberapa hari. Masyarakat ramai terpaksa membuka rumah itu. Dan apa yang terjadi? Ternyata sebuah jifah (bangkai) manusia tergeletak di situ.

Berhari-hari. Tanpa ada orang tahu. Bangkai itu telah membusuk dan dikoyak-koyak binatang melata. Bangkai itu ternyata adalah si Fulan yang suka menghujat ulama terkemuka dunia tersebut. Cercaannya berbalik menimpa dirinya sendiri.

Demikian kisah nyata yang terjadi beberapa dasawarsa lalu. Meski telah wafat beberapa abad silam, karamah Imam Besar tersebut masih dapat disaksikan.

Secara umum, wali Allah adalah setiap orang yang beriman. Namun, secara khusus, di antara sosok-sosok beriman itu ada yang dipilih Allah Azza wa Jalla sebagai wali-Nya. Allah mencintai dan dekat pada-Nya. Hingga urusannya dilindungi Allah. Hidupnya diliputi penjagaan. Dan (kala diperlukan) kerap muncul darinya karamah. Hal ini tergambar dari kelanjutan matan Hadits Qudsi yang telah kami sebut di atas, “…Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya. Aku adalah penglihatannya yang dia melihat dengannya. Aku adalah tangannya yang dia melakukan apa-apa dengannya. Aku adalah kakinya yang dia berjalan dengannya. Apabila dia memohon, Aku pasti memberinya. Dan bila dia minta dijaga, Aku pasti akan menjaganya.”

Konon di antara komunitas muslim dengan jumlah tertentu, di situ pasti ada 1 orang wali Allah. Artinya ada wali-wali Allah di sekitar kita. Siapakah dia? Tidak dapat dipastikan. Hal ini mengandung hikmah agar kita berhati-hati dalam bermasyarakat, tidak suka menghina atau mencela orang lain, tidak selalu berburuk sangka. Sebaliknya harus dikedepankan keluhuran budi, rendah hati, dan baik sangka kepada sesama. Apalagi terhadap orang yang dikenal beriman, shaleh, berbudi luhur, dan berilmu. Siapa tahu dia wali, yang ucapannya diperhatikan Allah, kata-katanya bertuah, firasatnya tajam, dan beracun darah dagingnya.

Cinta ulama atau cinta wali sepenuh hati merupakan jalan kesentosaan. Imam Al Ghazali menyatakan, “Barangsiapa mencintai orang berilmu atau ahli ibadah, maupun mencintai seseorang atas dasar mencintai ilmu, ibadah, atau kebaikan, maka dia benar-benar telah mencintainya untuk Allah (lillah) dan karena Allah (fillah), dan baginya pahala dan balasan sesuai dengan kadar kecintaannya.” Ungkapan ini diabadikan oleh Imam Al Jardani dalam Al-Jawahir Al Lu’luiyah halaman 321.

Sesungguhnya di surga kelak, selain para nabi dan para syuhada, para ulama atau wali juga diberikan wewenang memberikan syafaat.
Naudzubillah...
Wallahu `alam

Sumber: FP BANI ALAWIYYIN DI INDONESIA

No comments:

Post a Comment