Partai
Komunis Indonesia/PKI adalah partai politik Indonesia. PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok sebelum akhirnya PKI dihancurkan
pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun berikutnya.
Ideologi
komunis simpelnya adalah paham yang mendahulukan kepentingan umum diatas
kepentingan pribadi dan golongan. Paham komunis menyatakan setiap sesuatu yang
ada di suatu negara maka menjadi hak negara tersebut. Secara umum paham komunis
membatasi agama pada rakyatnya. Menurut paham ini agama adalah candu yang
membuat orang berangan-angan dan membatasi dari berpikir rasonal dan nyata.
Secara resmi
PKI berdiri pada tanggal 23 Mei 1920. Berdirinya PKI tidak terlepas dari ajaran
Marxis yang dibawa oleh Henk Sneevliet pada tahun 1914, dengan nama Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda)
yang disingkat dengan ISDV. Tokoh-tokoh Indonesia yang bergabung dalam ISDV
antara lain Darsono, Semaun, Alimin, dan lain-lain.
Tujuan
didirikannya partai PKI adalah untuk menyebarkan paham Komunis-Sosialis yang
menginginkan perbaikan nasib para buruh dan juga bertujuan untuk memerdekakan
Indonesia dari tangan Kolonial Belanda dengan berlandaskan paham Komunisme
dengan berasas membebaskan Indonesia dengan cara yang radikal.
Untuk
mencapai tujuan, pada tahun 1950, PKI mengalang kekuatan yang dipimpin oleh
tokoh muda, yaitu D. N. Aidit, Nyoto, Lukman, dan Sudisman, dengan membentuk
Front Persatuan Nasional, yakni dengan bekerjasa dengan partai lain terutama
PNI. Tindakan pertama yang dilakukan PKI untuk mencapai tujuan dengan cara
menyusup, mengacau dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Usaha
tersebut dilakukan melalui berbagai organisasi massa, misalnya Pemuda
Rakyat/PR, Gerakan Wanita Indonesia/GERWANI, Barisan Tani Indonesia/BTI, Sentra
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia/SOBSI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia/CGMI dan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia/IPPI.
Pada hari
kamis malam tanggal 30 september 1965/G 30 S, PKI mulai melancarkan gerakan
perebutan kekuasaan. Letnan Kolonel Untung sebagai pimpinan gerakan
memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk mulai bergerak pada dini
hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian
penculikan dan pembunuhan terhadap 6 perwira tinggi dan seorang perwira pertama
dari Angkatan Darat.
Para perwira
Angkata Darat tersebut disiksa dan dibunuh yang kemudian dimasukkan ke dalam
satu sumur tua di desa Lubang Buaya yang terletak di sebelah selatan Pangkalan
Udara Utama Halim Perdanankusuma. 6 jenderal korban dari TNI Angkatan Darat
tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima
Angkatan Darat atau Men/Pangad).
2.
Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputi II
Pangad).
3.
Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo
(Deputi III Pangad).
4.
Mayor Jenderal Siswondo Parman (Asisten
I Pangad).
5.
Brigadir Jenderal Donald Izacus (Asisten
IV Pangad).
6.
Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
(Inspektur Kehakiman/Oditur).
Ketika
terjadinya penculikan para perwira Angkatan Darat, Jenderal A. H. Nasution yang
juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya
tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran
tembak dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A. H. Nasution yang bernama Letnan
Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban, sedangkan Pembantu Letnan
Polisi Karel Satsuit Tubun gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap
gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution.
Setelah
menerima laporan terjadinya penculikan para pemimpin TNI Angkatan Darat, Mayor
Jenderal Soeharto sebagai panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat)
segera mengamibl langkah-langkah untuk memulihkan keamanan di ibu kota.
Langkah-langkah tersebut yaitu dengan menyelamatkan dua objek vital, yaitu
Gedung RRI dan pusat telekomunikasi. Dalam waktu dua puluh lima menit resimen
RPKAD di bawah Sarwo Edhi berhasil merebut kedua objek tersebut. Pada pukul
20.10 WIB Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat
megeluarkan pernyataan resmi yang isisnya memberitahukan kepada seluruh rakyat
bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi peristiwa penculikan beberapa
perwira tinggi Angkatan Darat yang dilakukan oleh golongan kontra revolusioner
yang menamakan dirinya Gestapu (Gerakan 30 September).
Selanjutnya,
mereka telah mengambil alih kekuasaan negara. Mayor Jenderal Soeharto
menegaskan bahwa kekuatan Gestapu dapat dihancurkan dan NKRI yang berdasarkan
Pancasila pasti tetap jaya. Pidato Mayor Jenderal Soeharto tersebut dapat
meredakan kegelisahan rakyat dan mereka dapat mengetahui gambaran yang jelas
tentang situasi negara.
Operasi
penumpasan dilanjutkan dengan sasaran Pangkalan Udara Utama/ Lanuma Halim
Perdana kusuma, yang menjadi basis kekuatan G-30-S/PKI. Operasi ini bertujuan
untuk mecari tempat dan mengusut nasib para Jenderal yang diculik. Kemudian
operasi dilanjutkan ke Lubang Buaya. Atas petunjuk dari Ajudan Brigadir Polisi
Sukitman, pada tanggal 3 Oktober ditemukan sumur tua tempat penguburan jenazah
para perwira Angkatan Darat. Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan
seluruh jenazah para perwira dan pada tanggal 5 Oktober para perwira dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para perwira dianugerahi gelar Pahlawan
Revolusi serta diberikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.