Tuesday, July 19, 2016

MEMBATALKAN PUASA SUNNAH, TERLARANG?

Kesepakatan 4 madzhab, bahwa orang yang berpuasa sunnah lalu membatalkan puasanya tersebut; itu tidak mengapa, tidak berdosa dan tidak ada qadha baginya. Dengan catatan bahwa pembatalan puasa sunnah tersebut karena alasan mendesak atau udzur yang memang dilegalkan; seperti sakit, atau ada kewajiban mendesak yang harus diselesaikan dengan badan yang fit. Artinya pembatalannya tersebut bukan tanpa sebab.

Itu yang disepakati! Akan tetapi ada masalah yang tidak disepakati; yakni jika orang berpuasa lalu dengan sengaja dan tanpa sebab membatalkan puasa itu tanpa alasan. Ini yang ulama 4 madzhab kemudian terbagi dalam 2 pendapat; Melarang dan Mewajibkan Qadha, kedua Membolehkan secara Mutlak.

1. Terlarang dan Wajib Qadha’ Puasa

Ini pendapat resmi madzhab al-Hanafiyah dan al-Malikiyah, bahwa yang orang yang berpuasa sunnah dan sudah menjalankannya, ia wajib meneruskannya sampai sempurna; yakni sampai puasa itu selesai di waktu maghrib. Tidak boleh sama sekali membatalkan begitu saja, kalau pun dibatalkan dan pembatalannya itu tanpa udzur, maka ia wajib menqadha puasa sunnah tersebut di hari berbeda.

Tentang kewajiban meneruskan puasa sampai, kedua madzhab ini berdalil dengan ayat:

وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (33)

“Janganlan kalian batalkan amal-amal kalian!” (Muhammad: 33)

Selain itu juga, yang masyhur dari pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatho’, bahwa dulu istri Nabi s.a.w.; Aisyah dan Hafshah pernah berpuasa sunnah lalu dihadiahkan makanan dan akhirnya mereka membatalkan puasa sunnah mereka. Mengetahui hal itu, Nabi s.a.w. justru menyuruh keduanya mengganti (qadha’) puasa tersebut.

اقْضِيَا يَوْمًا مَكَانَهُ

Nabi s.a.w.: “gantilah puasa sunnah kalian di hari lain!”.

إذا دُعِىَ أَحَدُكُمْ إلى طعامٍ فليجبْ فإن كان مُفْطِرا فليأكلْ وإن كان صائما فَلْيُصَلِّ

Nabi s.a.w.: “jika salah seorang dari kalian diundang makan oleh saudaranya, maka makanlah jika memang ia tidak berpuasa. jika ia berpuasa, cukup doakan tuan rumah dengan keberkahan”. (HR Muslim, Ahmad dan an-Nasa’i)

Imam al-Qurthubiy mengomentari hadits ini: “kalau saja berbuka boleh pastinya Nabi s.a.w. membolehkan itu dan tentu berbuka lebih utama karena memang ini masuk dalam bagian kewajiban menjawab undangan.” (Tabyiin al-Haqaiq 1/338)

Maksud Imam al-Qurthubiy, bahwa memang seseorang yang berpuasa, ia punya kewajiban meneruskan puasanya sampai selesai. Kalau memang boleh membatalkan, tentu Nabi s.a.w. akan membolehkan membatalkan, bahkan akan menganjurkan, karena memang ini urusan menjawab undangan dan menghormati sesame muslim, akan tetapi Nabi s.a.w. hanya memerintahkan yang berpuasa berdoa untuk tuan rumah, bukan ikut makan.

2. Boleh secara Mutlak

Ini pendapat yang dipegang oleh al-Syafi’iyyah dan al-Hanabilah. Seorang muslim yang berpuasa, dan puasa sunnah, ia punya kendali sendiri dan ia yang berkuasa atas puasanya, baik itu ia mau batalkan atau ia teruskan. Karena memang dulu juga Nabi s.a.w. pernah berpuasa sunnah lalu membatalkan karena ada yang menghadiahkan makanan.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: - دَخَلَ عَلَيَّ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - ذَاتَ يَوْمٍ. فَقَالَ: " هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ? " قُلْنَا: لَا. قَالَ: " فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ " ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ, فَقُلْنَا: أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ, فَقَالَ: " أَرِينِيهِ, فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا " فَأَكَلَ - رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Sayyidah ‘Aisyah berkata: “suatu hari Nabi s.a.w. masuk rumah lalu bertanya: ‘apa kalian punya sesuatu (untuk dimakan)?’. Kami menjawab: “tidak ada ya rasul.” Lalu beliau s.a.w. menjawab: “kalau gitu saya berpuasa!”. di hari lain beliau s.a.w. masuk, lalu aku berkata: “kita diahadiahkan hais” (kurma yang dicampur keju dan tepung), beliau s.a.w. menjawab: “berikan pada ku, aku sudah berpuasa dari pagi”. Dan beliau memakannya. (HR. Muslim)

Selain itu, ada hadits lain yang mempertegas bahwa orang yang berpuasa sunnah, ia adalah pemilik diri dan puasanya sendiri, baik disempurnakan, akan tetapi boleh ia batalkan. Dalam riwayat Imam Ahmad juga Imam Turmudzi;

الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِينُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“orang yang berpuasa sunnah adalah penjaga dirinya sendiri, ia bisa meneruskan puasanya jika ia mau. Namun ia juga bisa membatalkannya juga jika ia mau itu.”

Terkait dengan qadha’ puasa sunnah itu sendiri, 2 madzhab ini tidak menghukumi kewajibannya. Karena memang mereka melihat bahwa hukum qadha’ itu sama seperti al-maqdhiy ‘Alayh- (ibadah yang diqadha-nya), kalau yang diqadha itu hukumnya sunnah, maka qadha’-nya juga sama, sunnah juga. Artinya tidak ada kewajiban untuk mengqadha puasa sunnah yang terbatalkan.

Kesimpulan

Dalam masalah yang memang masih diperdebatkan seperti ini, kita masih punya kelonggaran dan kelulasaan antara melakukan hal yang satu atau yang lainnya. Dalam hal bertamu misalnya, mungkin akan ada baiknya jika sebelum bertamu, melihat bagaimana kesiapan tuan rumah. Kalau memang tuan rumah tidak terlalu repot dalam menyiapkan sajian, karena memang makanan yang disajikan sangat sederhana, tentu menolak sajian itu tidak terlalu membuat tuan rumah sakit hati.

Akan tetapi jika tuan rumah sudah bersusah payah dalam menyiapkan sajian tersebut, karena memang sajian yang dihidangkan cukup besar, tentu akan sangat meyakiti perasaan tuan rumah jika akhirnya kita menolak sajian tersebut hanya karena puasa sunnah. Maka ada baiknya kita membatalkan puasa tersebut, dan setelahnya menjadi pilihan kita, apakah menqadhanya nanti atau tidak.

Wallahu a’lam.

FB Ahmad Zarkasih

No comments:

Post a Comment